SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
Secara etimologi ( bahasa) sumber
berarti asal[1] dari
segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Adapun secara terminologi ( istilah
) dalam ilmu ushul, sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok atau utama
dalam menetapkan hukum Islam, yaitu berupa Alquran dan Al-Sunnah[2].
Dalil,
secara bahasa
artinya petunjuk pada sesuatu baik yang bersifat material maupun yang bersifat
nonmaterial. Sedangkan menurut Istilah, suatu petunjuk yang dijadikan landasan
berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara' yang bersifat praktis, baik
yang kedudukannya qath'i ( pasti ) atau Dhani (relatif).
a.
Dalil Ditinjau Dari Asalnya
Ditinjau
dari asalnya, dalil ada dua macam: 1.Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang
berasal dari nash langsung, yaitu Alquran dan al-Sunnah. 2.Dalil aqli, yaitu
dalil - dalil yang berasal bukan dari nash langsung, akan tetapi dengan
menggunakan akal pikiran, yaitu Ijtihad. Bila direnungkan, dalam fiqih dalil
akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan al-Sunnah,
tetapi prinsif-prinsif umumnya terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah.
b.
Dalil Ditinjau Dari Ruang Lingkupnya
Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya ada dua
macam, yaitu: 1. Dalil Kully yaitu
dalil yang mencakup banyak satuan hukum. Dalil Kulli ini adakalaya berupa ayat
Alquran, dan berupa hadits, juga adakalanya berupa Qaidah-qaidah Kully.
2. Dalil Juz'i, atau Tafsili yaitu dalil yang menunjukan kepada
satu persoalan dan satu hukum tertentu, seperti Ayat ini disebut dalil Juz'i,
karena hanya menunjukan kepada perbuatan puasa saja.
c.
Dalil Ditinjau Dari
Kekuatannya
Dalil
ditinjau dari daya kekuatannya ada dua, yaitu Dalil
Qath'i dan dalil Dhanni.1. Dalil Qath'i, Dalil Qath'i
ini terbagi kepada dua macam, yaitu :a. Dalil Qath'i al-Wurud, yaitu
dalil yang meyakinkan bahwa datangnya dari Allah ( Alquran) atau dari
Rasulullah ( Hadits Mutawatir). Alquran seluruhnya Qath'i wurudnya, dan
tidak semua hadits qath'i wurudnya.b. DalilQath'i Dalalah, yaitu
dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya menunjukan arti dan maksud
tertentu dengan tegas dan jelas sehingga tidak mungkin dipahamkan lain.2.DalilDhanni.
Dalil Dhanni, terbagi kepada dua macam pula yaitu: Dhanni al-Wurud dan
Dhanni al-Dalalah. a.Dhanni al-Wurud, yaitu dalil yang memberi
kesan yang kuat atau sangkaan yang kuat bahwa datangnya dari Nabi saw. Tidak
ada ayat Alquran yang dhanni wurud, adapun hadits ada yang dhanni wurudnya
yaitu hadits ahad.b.Dhanni al-Dalalah, yaitu dalil yang
kata-katanya atau ungkapan kata-katanya memberi kemungkinan - kemungkinan arti
dan maksud lebih dari satu. Tidak menunjukan kepada satu arti dan maksud
tertentu[3].
2.
Pengertian Hukum
Para ahli ushul menta'rifkan hukum dengan : Perintah /
firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa
tuntutan ( perintah dan larangan), atau pilihan (kebolehan ) atau wadh'i
(menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang bagi seseatu hukum ) Dari
definisi di atas menunjukan, bahwa yang menetapkan hukum itu adalah Allah Swt.
Hanya Allah hakim yang maha tinggi dan maha kuasa. Rasulullah penyampai
hukum-hukum Allah kepada manusia. Oleh karena Allah yang menetapkan hukum, maka
sumber hukum yang pertama dan paling utama adalah wahyu Allah yaitu Alquran,
kemudian sunnah Rasul sebagai sumber hukum yang ke dua, dan sumber hukum yang
ke tiga adalah Ijtihad[4].
3.
Urutan Sumber Hukum
A. Sumber dan Dan Dalil Yang
Disepakati
1. Al-qur’an
a. Pengertian Al-qur’an
Al-qur’an di dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek
pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalammemecahkan suatu
hukum.Al-qur’an berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqh berarti “kalam
(perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW.dengan bahasa Arab serta dianggap ibadah dengan membacanya.[5]
b. Hukum-hukum yang terkandung
dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup secara umum mengandung tiga
ajaran pokok:
1. Ajaran-ajaran yang berhubungan
dengan akidah (keimanan) yang membicarakan hal-hal yang wajib diyakini, seperti
masalah tauhid, masalah kenabian, mengenai kitabnya, Malaikat, hari kemudian
dan sebaginya yang berhubungan dengan doktrin akidah.
2. Ajaran-ajaran yang berhububgan
dengan Akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan diri oelh setiap
mukallaf berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang
membawa kepada kehinaan (doktrin akhlak).
3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf (doktrin
Sayari’ah/fiqh). Dari hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan berkembnagnya ilmu
fikih. Hukum-hukum amaliyah dalam al-Qur’an terdiri dari dua caban, yaitu hukum
ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hukum muamalah yang
berhubungan manusia dengan sesamanya[6].
2. Sunnah
a. Pengertian Sunnah
Kata sunnahsecara bahasa berarti “prilaku
seseorang tertentu, baik prilaku yang baik atau prilaku yang buruk”[7].
Dalam pengertian inilah dipahami kata sunnah dalam sebuah hadis Rasulullah :
عن المنذر بن جرير عن أبيه عن
النبى صلى الله عليه و سلم قال من سن فى الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له
مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيئ ومن سن فى الإسلام سنة سيئة فعمل بها
بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها و لا ينقص من أوزارهم شيئ {رواه مسلم}
Dari
al-Munzir bin Jarir, dari bapaknya, dari Nabi SAW. bersabda : barangsiapa
yang melakukan perilaku(sunnah) yang baik dalam Islam ini, maka ia akan
mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang menirunya dan sedikitpun tidak
dikurangi, dan barangsiapa yang melakukan perilaku (sunnah) yang buruk dalam
Islam, makaia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang menirunya dan tidak
dikurangi sedikitpun. (HR.Muslim)
Menurut istilah Ushul Fiqh, Sunnah
Raasulullah, seperti yang dikemukakan
oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru Besar Hadis Universitas Damaskus),
berarti segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa
ucapan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’iliyah), atau
pengakuan (sunnah taqririyah).
b.
Dalil Keabsahan
Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk menaati Rasulullah
seperti tersebut dalam ayat :
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu.kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c. Pembagian Sunnah
Sunnah atau Hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya
dalam kajian ushul fiqh dapat dibagi kepada dua macam, yaitu hadis mutawatir
dan hadis ahad.
Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Oleh sekelompok perawi yang
menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan bohong, karena
banyak jumlah mereka dan diketahui sifat masing-masing mereka yang jujur serta
berjauhan tempat antara yang stu dengan yang lain. Dari kelompok ini diriwayatkan pula selanjutnya oleh kelompok
berikutnya yang jumlahnya tidak kurang dari kelompok pertama, dan begitulah
selanjutnya sampai dibukukan oleh pentadwin Hadis. Dan pada
masing-masing tingkatan itu sama sekali tidak ada kecurigaan bahwa mereka akan
berbuat kebohongan atas Rasulullah.
Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang atau lebih tetapi
tidak sampai kebatas tingkatan Hadis mutawatir. Hadis ahad terbagi kepada tiga
macam :
Pertama, hadis masyhur yaitu hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh
tiga orang perawi, tetapi kemudian pada masa tabi’in dan
seterusnya hadis itu menjadi mutawatir dilihat dari segi jumlah perawinya.
Kedua, hadis ‘aziz yaitu hadis yang pada masa periode diriwayatkan oleh
dua orang meskipun pada periode-periode yang lain diriwayatkan oleh orang
banyak.
Ketiga, hadis gharib yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perorangan pada
setiap periode sampai hadis itu dibukukan[8].
d.
Fungsi Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum
Secara
umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan) atau tabyin seprti
ditunjukkan oleh ayat 44 surat al-Nahl:
Artinya:keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan,
Ada beberapa
fungsi sunnah terhadap al-Qur’an:
1.
Menjelaskan isi al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat
global.
2.
Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu keawjiban
yang disebutkan pokok-pokoknya didalam al-Qur’an..
3.
Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam al-Qur’an[9].
3.
Ijma’
a.
Pengertian Ijma’
Kata
Ijma’ secara bahasa berarti “kebetulan tekad terhadap sesuatu persoalan” atau
“kesepakatan tentang suatu masalah”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti
dikemukakan ‘Abdul-Karim Zaidan, adalah “kesepakan para mujtahid dari kalangan
umat islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah”.
Menurut
Muhammad Abu Zahrah, para Ulama sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan
sebagai dalil hukum. Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai
jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap ijma’ yang mengikat umat
islam[10].
b.
Dalil Keabsahan Ijma’
Para
Ulama Ushul Fiqh mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma’ adalah sah dijadikan
sebagai landasan hukum kepada berbagai argumentasi, antara lain: surat an-Nisa’
ayat 115 :
Artinya: dan
Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
c.
Landasan (sanad) Ijma’
Ijma’
baru dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum bilamana dalam
pembentukannya mempunyai landasan Syara’ yang disebut sanad (landasan)
syara’.Para Ulama Ushul Fiqh sepakat atas keabsahan al-Qur’an dan Sunnah
sebagai landasan ijma’.Contoh ijma’ yang
dilandaskan atas al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama atas keharaman
menikahi nenek dan cucu perempuan. Kesepakan tersebut dilandaskan atas Ayat 23
surat an-nisa’[11].
d.
Macam-macam Ijma’
Menurut
Abdul-Karim Zaidan , ijma’ tebagi kepada dua, yaitu ijma’ sarih (tegas)
dan ijma’ sukuti (persetujuan yang diketahui lewatnya diam sebagian
ulama).
Ijma’ sarih
adalah kesepakatan tegas dari para mujtahid dimana masing-masing mujtahid
menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan itu. Sedangkan ijma’
sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan
ulam mujtahid lainya hanya diam tampa komentar[12].
4.
Qiyas
a.
Pengertian Qiyas
Dalil
keempat yang disepakati adalah qiyas atau analog. Qiyas menurut bahasa
berarti mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya
persamaan antara keduanya”. Menurut istilah Ushul Fiqh seperti yang dikemukakan
oleh Wahbah az-Zuhaili adalah: menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang
tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena
ada persamaan ‘llat antara keduanya.
b.
Dalil Keabsahan Qiyas Sebagai Landasan Hukum
Para
ulama Ushul Fiqh menganggap qiyas secara sah dapat dijadikan sebagai dalil
hukum denga berbagai argumentasi[13],
antara lain: surat an-Nisa’ ayat 59:
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
[1]
Kamus Besar Bahasa Indonesia Off Line v 1.3
[2]file.upi.edu/Direktori/FPBS/.../SUMBER_HUKUM.pdffile.upi.edu/Direktori/FPBS/.../SUMBER_HUKUM.pdf
[3]Ibid.tth.
[5] Satria Efendi, Sumber dan Dalil Hukum
Islam. Tth. Hal.78
[8]Satria Efendi, Sumber
dan Dalil Hukum Islam. Tth. Hal. 117
[9]Satria Efendi, Sumber
dan Dalil Hukum Islam. Tth. Hal. 122
0 komentar:
Post a Comment