BAB I
MUQADDIMAH
بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله الذي نزل الفرقان على عبده ليكون على
العالمين نزيرا اشهد ان لا اله الا لله وحده لا شريك له، واشهد ان عبده ورسوله الى
كافة الثقلين بشيرا ونذيرا صلى الله
عليه واله وصحبه واهل بيته وسلم تسليما كثيرا أم بعده
Manusia
memiliki suatu hal yang esensial yang tidak dimiliki oleh hewan, yakni ruh atau
jiwa. Ruh dan jiwa tersebut dimanfaatkan manusia untuk berfikir dan merasa.
Hewan memang mempunyai otak tapi tidak berpikir, juga mempunyai hati tapi tidak
membentuk rasa rohani.
Dengan
demikian, jika manusia dipandang dari aspek rohaninya, maka kita akan
menelusuri medan antropologi kebudayaan. Ini bisa berbentuk cara
bertindak, bergaul, berekonomi, berorganisasi, berteknologi, dan seterusnya yang kesemuanya dipandang
sebagai norma hidup, budaya, kebiasaan, tradisi, kultur, ataupun adat istiadat.
Oleh
karena itu, penulis dalam kesempatan ini mencoba untuk sedikit menggali
beberapa hal yang berkenaan dengan kaidah al-‘adat muhakkamah.
Samalanga, 21 April 2012
KELOMPOK III
BAB
PEMBAHASAN
A.
DEFENISI
Sebelum
kita beranjak lebih jauh dalam membahas kaidah al-‘adat muhakkamah, ada
baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari adat itu sendiri. Al-‘Adat adalah berasal satu masdar اعادة
yang memiliki makna ulangan
atau mengembalikan.[1] Sedangkan
kata muhakkamah sendiri berasal dari fiel madhi حكم yang bermakna
menghukum.[2]
Namun secara umum adat bisa diartikan sebagai sebuah kecenderungan baik itu
berupa ungkapan ataupun pekerjaan terhadap suatu objek dan dilakukan secara
berulang-ulang oleh seorang pribadi maupun kelompok.[3]
Sedangkan
para fuqaha megartikan adat sebagai sebuah norma yang sudah melekat dalam hati
akibat pengulang-ulangan, sehingga diterima sebagai sebuah realita yang
rasional dan layak menurut penilayan akal sehat.[4]
B.
DASAR KAIDAH
1. Al-Quran
Telah kita ketahui bahwa semua produk hukum Islam
adalah bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist. Begitu pula halnya dengan
kaidah-kaidah yang menjadi jalan bagi terciptanya hukum Islam tersebut.
Kaidah al-‘adat muhakkamah
adalah salah satu kaidah kubra yang berasal dari al-Qur’an
dan al-Hadist. Namun para ahli masih berselisih tentang ayat mana yang pastinya
menjadi sumber bagi kaidah tersebut. Menurut Abdul Haq dkk
dalam buku mereka, kaidah al-‘adat muhakkamah bersumber dari
surat al-A’raf:199:
خذ العفو وأمر بالعرف
واعرض عن الجاهلين .
Artinya: Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan
perintahkanlah dengan sesuatu yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang
bodoh. (QS. Al-A’raf: 199). [5]
Kata al-‘urf dalam
ayat ini ditafsirkan oleh imam As-Sayuti dengan makna adat atau kebiasaan, hal
ini dikemukakan oleh Syaikh Yasin ibnIsa al-Fadani dalam kitab beliau.[6]
Sedangkan Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi mengatakan,
sangat mungkin kaidah al-‘adat
muhakkamah ini
diformulasikan menurut isi dari surat an-Nisa’ ayat 155:
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع
غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا .
Artinya: Barang
siapa menentang rasul setelah datang petunjuk dan mengikuti selain jalan
orang-orang mukmin, maka kami biarkan
dia leluasa dalam kesesatan yang telah menguasainya itu, dan akan kami
masukkan mereka dalam neraka jahannam Dan jahannam itu adalah seburuk-buruk
tempat kembali.(QS. an-Nisa’:155). [7]
Al-Jarhazi berargumen bahwa, kata sabil dalam ayat
berarti jalan. Dengan
demikian, sabil al-mu’minin dalam ayat dapat ditafsirkan sebagaisesuatu yang
diyakini sebagai etika dan norma yang
baik dalam pandangan kaum mukmin, serta telah menjadi budaya sehari-hari
mereka.[8]
2. Al- Hadist
Menurut Qadhi Husain RA,
kaidah al-‘adat muhakkamah bersumber dari sebuah hadist yang
berbunyi:
مارأه المسلمون
حسنا فهو عند الله حسنا.
Artinya: Apa saja yang dipandang baik oleh kaum
muslimin, maka itupun di sisi Allah baik.
(HR. Ahmad)
Namun
hal ini mendapat bantahan dari Al-‘Alai yang mengatakan bahwa beliau belum
pernah menjumpai hadist tersebut diatas dalam kitaphadist meskipun dengan yang
riwayat yang dhaif. Malahan setelah diteliti lebih lanjut, rupanya itu adalah
sebuah ucapan dari Abdullah ibn Mas’ud.[9]
C. SERBA-SERBI ADAT
1.
Perbedaan
dan persamaan adat dengan ‘urf
Kita sering mendengar orang menyebutkan kata-kata
adat dan kita juga tidak kalah banyak mendengar istilah ‘urf. Namun apakah kedua
kata-kata ini memiliki pengertian yang sama ataupun sebaliknya?. Maka
jawabannya ialah kedua-duanya benar adanya, di
mana antara adat dengan ‘urf
sama-sama memiliki persamaan juga pertidak samaan.
Persamaan antara dua istilah ini adalah sama-sama
perbuatan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan
berulang-ulang dan sesuai karakter pelaku.[10]
Adapun perbedaan dua kata ini terletak pada
pengertiannya secara harfiah nya. Dimana kalau kita melihat bahwa kata al-‘urf terbentuk dari akar kata al-ma’ruf yang bermakna terkenal atau masyhur.[11]
Sedangkan ‘urf sebagaimana diutarakan oleh Imam Al-Jarhazi adalah apasaja (baik
perbuatan atau perkataan) yang dipahami dan
dikenal oleh akal manusia dan telah mendapat persetujuan dari para imam
(pemimpin).[12]Menurut kami, pengertian
istilahi diatas kemungkinan karena melihat kepada makna kata laghawi dari kata al-‘urf itu sendiri yang
bermakna mengetahui. Kesimpulannya adat hanya melihat dari sisi pekerjaan
sedangkan ‘urf melihat kepada aspek pelaku.
2.
Syarat-
syarat adat
Suatu pekerjaan yang telah kita lakukan tidak serta
merta akan dikatakan sebagai sebuah adat, butuh beberapa kali pengulangan barulah
perbuatan tersebut boleh dikatakan sebagai adat. Tetapi masalah nya sekarang
adalah berapa kali kita harus mengulanginya?. Para pakar hukum( fuqaha) masih
berselisih tentang kepastian pengulangan yang perlu dilakukan untuk sebuah pekerjaan
agar bisa dikatakan adat. Namun secara garis besar pengulangan tersebut dapat
terbagi menjadi tiga, yaitu:
Ø Pada beberapa kasus cukup
hanya dilakukan sekali. Ini sesuai dengan pendapat as-Sayuti.[13]
Contohnya adalah seperti pemberian bingkisan kepada hakim sebelum dia dianggkat
menjadi hakim.
Ø Harus berulang dua
sampai tiga kali. Contohnya seperti
orang yang memiliki kemampuan telepati untuk menentukan nasab seorang bayi.
Ø Haruslah terjadi
pengulangan dengan jumlah yang sangat banyak, supaya bebeda dengan pekerjaan
yang terjadi pengulangannya secara kebetulan.[14]
Hal ini berdasarkan pendapat al-Zarkasyi dan Qadhi Abubakar al-‘Arabi.
Contohnya seperti seorang anak laki-laki yang belum baligh tapi sudah
dapat melakukan tawar menawar dalam jual beli.
Dari beberapa pembagian yang
telah tersebut diatas, Imam Sayuti berkesimpulan bahwa suatu perbuatan barulah
bisa kita namai adat bila telah dilakukan berulang-ulang dan telah mencapai
ghalabah zhan bi al-ta’lim.[15]
Nah, setelah suatu perbuatan sudah
boleh dikatakan adat apakah perbuatan tersebut sudah pasti dapat dijadikan
pijakan hukum?. Jawabannya adalah belum. Ada beberapa syarat yang harus
diterpenuhi terlebih dahulu barulah adat tersebut boleh dijadikan pijakan
hukum. Dan di antara syarat-syarat tersebut adalah:
a) Adat tidak
berbenturan dengan hukum syari’at.[16]
Kita sering mendengar istilah
العادة محكمة ما لم يخالفه الشرع.
Nah, kayid
yang terdapat pada akhir kaidah ini adalah syarat bagi sah berlakunya adat
sebagai hukum. Seandainya syarat ini tidak berlaku maka akan kacau jadinya.
b) Adat haruslah sesuatu
yang bersifat konstan (iththirad) dan menyeluruh, atau mimimal dilakukan
kalangan mayoritas (ghalib).[17]Seandainyapun kita menemukan ada yang tidak mengerjakan,
maka hanya sebagian kecil saja.
c) Adat sudah terbentuk
bersamaan dengan masa penggunaannya.[18]Misalnya
seseorang mengwakafkan tanah nya kepada ulama, sementara yang dimaksud dengan
ulama pada saat proses pengwakafan itu terjadi adalah orang-orang yang ahli
dalam bidang fiqh, maka harta wakaf tersebut harus diserahkan kepada ahli fiqh
meskipun pada masa-masa selanjutnya istilah ulama ini penggunaannya tidak
semata-mata terhadap ahli fiqh.
d) Tidak terdapat ucapan
atau pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai substansial adat ( madlumun
al -‘adat).[19]Misalnya
disuatu tempat berlaku adat kalau pelemparan alat tukar (tsaman)
dijadikan sebagai bukti pembayaran tanpa melalui media ucapan. Nah, selama ini
telah dilakukan oleh pembeli dan penjual maka jual beli itu dianggap sah. Lain
halnya kalau pembeli mengatakan bahwa pelemparannya itu hanya sekedar iseng
untuk menggoda si penjual, maka pelemparan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai
tanda jadi dalam sebuah transaksi.
3.
Bentuk-
bentuk adat
Pembagian adat dapat ditinjau dari beberapa aspek. Diantaranya:
a) Dari aspek pekerjaan
adat terbagi dua, yaitu
Ø ‘Urf qawli yaitu suatu jenis kata, ungkapan atau
istilah tertentu yang diberlakukan oleh satu komunitas untuk menunjuki suatu
makna kusus.
Ø ‘Urf fi’li / amali adalah suatu jenis pekerjaan atau aktifitas
tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang
sebagai norma susila.[20]
b) Dari aspek jumlah
pelakunya (kuanitas) adat terbagi dua, yaitu:
Ø ‘Urf ‘am yaitu suatu pekerjaan yang sudah berlaku
menyeluruh dan tidak mengenal batas waktu, pergantian generasi atau letak
geografis.
Ø ‘Urf khas yaitu suatu jenis kebiasaan yang berlaku
di kawasan atau golongan tertentu, dan tidak tampak pada komunitas lainnya.[21]
c) Dari tinjauan secara umum adat terbagi dua, yaitu:
Ø ‘Adat shahih yaitu segala tradisi yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil serta
hukum syar’i.
D.
CAKUPAN KAIDAH
Selama ini kita sering mendengar atau malah berpendapat
bawa kaidah al-‘adat muhakkamah hanya berlaku dalam
masalah penentuan awal serta lamanya haid seorang perempuan. Tapi setelah
melakukan penelusuran terhadap beberapa sumber yang sangat dapat dipercaya, harus
kita akui bahwa sangat banyak sekali persoalan-persoalan hukum yang mencakup
dalam kaidah al-‘adat
muhakkamah ini. Dan di bawah ini kami mencoba mengurai beberapa adat yang masuk
dalam ranah kaidah ini. Diantaranya:
1)
Kadar pergerakan dalam
shalat. Ukuran pergerakan yang di anggap banyak atau sedikit dikembalikan
kepada adat dan kebiasaan baik yang bersifat pribadi atau kolektif. Namun
menurut ulama tiga kali bergerak itu sudah dianggap banyak pada adat dan
membatalkan shalat karena dapat merubah runtutan shalat itu sendiri.
2)
Kadar minimal najis yang
dimaafkan.
3)
Ukuran sebentar dan
lamanya kesinambungan antara rukun-rukun wudlu’, atau tenggang waktu pembelian
dan pemulangan barang yang memiliki cacat.
4)
Penguasaan atas hak
milik orang lain (istila’) dalam masalah ghasab.
5)
Dalam masalah batasan
penerimaan barang dalam mu’amalah.
6)
Mengetahui batasan tempat
penyimpanan barang yang layak (hirz al-mitsl)
8)
DLL
E.
SUB- SUB KAIDAH
Sebenarnya sangat banya kaidah-kaidah furu’
yang menjadi sub kaidah asas al-‘adat muhakkamah ini. Namun karena
keterbatasan ilmu juga waktu, kami hanya menyebutkan satu sub kaidah saja,
sekaligus sub kaidah ini menjadi batasan (istisna) bagi kaidah asal. Diantara
sub kaidah tersebut adalah:
1.
Sub Kaidah Pertama.
كل ما ورد به الشرع مطاقا
ولا ضابط له فيه ولا اللغة يرجع فيه الى العرف
Artinya: Setiap
ketentuan yang dikeluarkan oleh syara’ secara mutlak dan tidak ada
pembatasannya dalam syara’ dan dalam ketentuan bahasa, dikembalikan kepada
‘urf.[24]
Banyak
ulama figh mengartikan ‘uruf sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang (kelompok)
dan timbul dari kreativ-imajenativ manusia dalam membangun nilai-nilai budaya
2.
Sub Kaidah Kedua.
العادة المطردة فى ناحية
لا تنزل منزلة الشرط
Artinya: Adat kebiasaan yang diterapkan dalam
satu segi tidak dapat menduduki tempat syarat.
Contohnya: Kebiasaan
memanfaatkan yang digadaikan (marhum).Menurut al-Qafal, jika kebiasaan ini
diposisikan sebagai syarat,maka akat gadai tidak sah. Pada awalnya,dalam
prosesi penggadaian,penerima gadai tidak diperbolehkanmemanfaatkan marhum.sebab
marhum hanyalah barang jaminan atas hutang yang ditanggung pihak penggadai,Tapi
jika kebiasaan ini tidak diposisikan sebagai syarat,maka menurut mayoritas
ulama,akad tetap dihukumi sah.
F.PENGECUALIAN
KAIDAH
Dengan pemilahan yang
sistematis,Muhammad Shidqi Al-burnu mengajukan beberapa perincian untuk
mengadopsi tradisi-tradisi yang bertentangan dengan nash syariat.
Pertama,
bila adat fasid bertentangan dengan nash,sehingga andaikata
diadopsi maka akan membuat ketentuan nash menjadi terbuang,maka adat
fasid harus dikesampingkan. Budaya sex bebas di barat, misalnya, jelas
tidak dapat ditoleransi syariat.sebab,
selain merendahkan martabat manusia menjadi semi-hewani, kebebasan sexual
juga akan mengaburkan garis keturunan
(nasab), menistakan harga diri pelaku, serta akan bertentangan dengan
dalil-dalil nash yang lain (selain dalil yang mengharamkan zina). Jadi
untuk menghalalkan perilaku free-sex tersebut
teramat jauhdari garis ditarik dan benang di rentang.
Kedua, lahirnya
ketentuan nash yang berbenturan dengan adat pada saat itu, namun pada era
selanjutnya , tradisi tersebut telah berubah dan berlawanan dengan pesan
esensial nash,dalam tataran ini,sebagian ulama mazhab memberi peluang
untuk merangkul adat istiadat dan meninggalkan tex syar’i. Alasan
mereka,eliminasi atau penganuliran itu bukan dalam katagori penentang
(mushadamah). Contohnya hadist nabi,
yang menerangkan bahwa garam, gandum merah, gandum putih dan kurma,adalah jenis
bahan komsumsi yang harus di takar(al-makil) dalam prosesi transaksi. Ketentuan
ini sesuai dengan adat orang madinah,namun di ketika selanjutnya madinah tidak
memakai takaran lagi,maka tradisi baru itulah yang menjadi pijakan[25].
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari apa yang telah
dikemukakan sebelum ini, dapat kita simpulkan bahwa Islam sebagai agama rahmatan
lil ‘alamin selalu memberikan solusi bagi pemeluknya dalam mengarungi hidup
didunia ini. Disamping itu Allah sebagai shahib syari’ah tidak
memberlakukan hukum islam sesuai dengan
teks syar’i saja, tapi juga lewat tradisi yang
telah berakar dalam tubuh manusia yang dikatagorikan `adat`, tentu saja dengan beberapa ketentuan yang
berlaku.
B.
KRITIK DAN SARAN
Mengigat dan menimbang bahwa
kami adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari berbagai kesilapan dan
kekerungan. Maka disini kami mengharapkan banyak maaf kepada teman-teman dan
kepada dosen pembimbing atas
segala kekurangan dalam penyelesaian makalah ini. Dan kami juga mengharapkan banyak kritikan dan
saran yang bersifat membangun tentunya
dari Dosen dan
teman-teman semua agar kedepan kami dapat menjadi lebih
baik.
[1] Mahmud
Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah,
tt), hal. 284.
[3] Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh, jld
I, (Surabaya: Kaki Lima dan Khalista, 2006), cet. II, hal. 274.
[9] Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Sayuti, al-Asybah
wa an-Nazhair fi al-Furu’, (Singapura, Jeddah, Indonesia: al-Haromain, tt),
hal. 63.
[12] Abdullah Ibn Sulaiman al-Jarhazi, al-Mawahib
as-Saniyyah, (Singapura, Jeddah, Indonesia: al-Haromain, tt), hal. 123.
[24] Mukhtar Yahya dan Prof. Drs.
Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT Alma’arif, 1986), cet. 5, hal. 518.
0 komentar:
Post a Comment