Nice

  • Latest News

    Saturday, September 15, 2012

    Qaedah Usul


    BAB I
    MUQADDIMAH
    بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله الذي نزل الفرقان على عبده ليكون على العالمين نزيرا اشهد ان لا اله الا لله وحده لا شريك له، واشهد ان عبده ورسوله الى كافة الثقلين بشيرا    ونذيرا صلى الله عليه واله وصحبه واهل بيته وسلم تسليما كثيرا أم بعده                    
                Manusia memiliki suatu hal yang esensial yang tidak dimiliki oleh hewan, yakni ruh atau jiwa. Ruh dan jiwa tersebut dimanfaatkan manusia untuk berfikir dan merasa. Hewan memang mempunyai otak tapi tidak berpikir, juga mempunyai hati tapi tidak membentuk rasa rohani.
                Dengan demikian, jika manusia dipandang dari aspek rohaninya, maka kita akan menelusuri medan antropologi kebudayaan. Ini bisa berbentuk cara bertindak, bergaul, berekonomi, berorganisasi, berteknologi,  dan seterusnya yang kesemuanya dipandang sebagai norma hidup, budaya, kebiasaan, tradisi, kultur, ataupun adat istiadat.
                Oleh karena itu, penulis dalam kesempatan ini mencoba untuk sedikit menggali beberapa hal yang berkenaan dengan kaidah al-‘adat muhakkamah.  
               
                                                                             Samalanga, 21 April 2012

                                                                                   KELOMPOK  III

    BAB
       PEMBAHASAN
    A.      DEFENISI
    Sebelum kita beranjak lebih jauh dalam membahas kaidah al-‘adat muhakkamah, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari adat itu sendiri.  Al-‘Adat adalah berasal  satu masdar اعادة yang memiliki makna ulangan atau mengembalikan.[1] Sedangkan kata muhakkamah sendiri berasal dari fiel madhi حكم yang bermakna menghukum.[2] Namun secara umum adat bisa diartikan sebagai sebuah kecenderungan baik itu berupa ungkapan ataupun pekerjaan terhadap suatu objek dan dilakukan secara berulang-ulang oleh seorang pribadi maupun kelompok.[3]
    Sedangkan para fuqaha megartikan adat sebagai sebuah norma yang sudah melekat dalam hati akibat pengulang-ulangan, sehingga diterima sebagai sebuah realita yang rasional dan layak menurut penilayan akal sehat.[4]




    B.    DASAR KAIDAH
    1.      Al-Quran
    Telah kita ketahui bahwa semua produk hukum Islam adalah bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist. Begitu pula halnya dengan kaidah-kaidah yang menjadi jalan bagi terciptanya hukum Islam tersebut.
    Kaidah al-‘adat muhakkamah adalah salah satu kaidah kubra yang berasal dari  al-Qur’an dan al-Hadist. Namun para ahli masih berselisih tentang ayat mana yang pastinya menjadi sumber bagi kaidah tersebut. Menurut  Abdul Haq dkk  dalam  buku mereka, kaidah  al-‘adat muhakkamah bersumber dari surat al-A’raf:199:
     خذ العفو وأمر بالعرف واعرض عن الجاهلين . 
    Artinya: Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan perintahkanlah dengan sesuatu yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh. (QS. Al-A’raf: 199). [5]
                Kata al-‘urf  dalam ayat ini ditafsirkan oleh imam As-Sayuti dengan makna adat atau kebiasaan, hal ini dikemukakan oleh Syaikh Yasin ibnIsa al-Fadani dalam kitab beliau.[6]
                Sedangkan Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi mengatakan, sangat mungkin kaidah al-‘adat muhakkamah ini diformulasikan menurut isi dari surat an-Nisa’ ayat 155:

     ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا . 
    Artinya: Barang siapa menentang rasul setelah datang petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin, maka kami biarkan  dia leluasa dalam kesesatan yang telah menguasainya itu, dan akan kami masukkan mereka dalam neraka jahannam Dan jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.(QS. an-Nisa’:155). [7] 
                   
                Al-Jarhazi berargumen bahwa, kata sabil dalam ayat berarti jalan. Dengan demikian, sabil al-mu’minin dalam ayat dapat ditafsirkan sebagaisesuatu yang diyakini sebagai etika  dan norma yang baik dalam pandangan kaum mukmin, serta telah menjadi budaya sehari-hari mereka.[8]
    2. Al- Hadist
                Menurut Qadhi Husain RA, kaidah al-‘adat muhakkamah bersumber dari sebuah hadist yang berbunyi:
     مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسنا.
    Artinya: Apa saja yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka itupun di sisi Allah baik. (HR. Ahmad)
                Namun hal ini mendapat bantahan dari Al-‘Alai yang mengatakan bahwa beliau belum pernah menjumpai hadist tersebut diatas dalam kitaphadist meskipun dengan yang riwayat yang dhaif. Malahan setelah diteliti lebih lanjut, rupanya itu adalah sebuah ucapan dari Abdullah ibn Mas’ud.[9]

    C. SERBA-SERBI ADAT
    1.      Perbedaan dan persamaan adat dengan ‘urf
    Kita sering mendengar orang menyebutkan kata-kata adat dan kita juga tidak kalah banyak mendengar istilah ‘urf. Namun apakah kedua kata-kata ini memiliki pengertian yang sama ataupun sebaliknya?. Maka jawabannya ialah kedua-duanya benar adanya, di mana antara adat dengan ‘urf sama-sama memiliki persamaan juga pertidak samaan.
    Persamaan antara dua istilah ini adalah sama-sama perbuatan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai karakter pelaku.[10]
    Adapun perbedaan dua kata ini terletak pada pengertiannya secara harfiah nya. Dimana kalau kita melihat bahwa kata al-‘urf  terbentuk dari akar kata al-ma’ruf  yang bermakna terkenal atau masyhur.[11] Sedangkan ‘urf sebagaimana diutarakan oleh Imam Al-Jarhazi adalah apasaja (baik perbuatan atau perkataan) yang  dipahami dan dikenal oleh akal manusia dan telah mendapat persetujuan dari para imam (pemimpin).[12]Menurut kami, pengertian istilahi diatas kemungkinan karena melihat kepada makna kata laghawi dari kata al-‘urf itu sendiri yang bermakna mengetahui. Kesimpulannya adat hanya melihat dari sisi pekerjaan sedangkan ‘urf melihat kepada aspek pelaku.

    2.      Syarat- syarat adat
    Suatu pekerjaan yang telah kita lakukan tidak serta merta akan dikatakan sebagai sebuah adat, butuh beberapa kali pengulangan barulah perbuatan tersebut boleh dikatakan sebagai adat. Tetapi masalah nya sekarang adalah berapa kali kita harus mengulanginya?. Para pakar hukum( fuqaha) masih berselisih tentang kepastian pengulangan yang perlu dilakukan untuk sebuah pekerjaan agar bisa dikatakan adat. Namun secara garis besar pengulangan tersebut dapat terbagi menjadi tiga, yaitu:
    Ø Pada beberapa kasus cukup hanya dilakukan sekali. Ini sesuai dengan pendapat as-Sayuti.[13] Contohnya adalah seperti pemberian bingkisan kepada hakim sebelum dia dianggkat menjadi hakim.
    Ø Harus berulang dua sampai tiga kali.  Contohnya seperti orang yang memiliki kemampuan telepati untuk menentukan nasab seorang bayi.
    Ø Haruslah terjadi pengulangan dengan jumlah yang sangat banyak, supaya bebeda dengan pekerjaan yang terjadi pengulangannya secara kebetulan.[14] Hal ini berdasarkan pendapat al-Zarkasyi dan Qadhi Abubakar al-‘Arabi. Contohnya seperti seorang anak laki-laki yang belum baligh tapi sudah dapat melakukan tawar menawar dalam jual beli.
    Dari beberapa pembagian yang telah tersebut diatas, Imam Sayuti berkesimpulan bahwa suatu perbuatan barulah bisa kita namai adat bila telah dilakukan berulang-ulang dan telah mencapai ghalabah zhan bi al-ta’lim.[15]
    Nah, setelah suatu perbuatan sudah boleh dikatakan adat apakah perbuatan tersebut sudah pasti dapat dijadikan pijakan hukum?. Jawabannya adalah belum. Ada beberapa syarat yang harus diterpenuhi terlebih dahulu barulah adat tersebut boleh dijadikan pijakan hukum. Dan di antara syarat-syarat tersebut adalah:
    a)      Adat tidak berbenturan dengan hukum syari’at.[16]
    Kita sering mendengar istilah 
     العادة محكمة ما لم يخالفه الشرع.
    Nah, kayid yang terdapat pada akhir kaidah ini adalah syarat bagi sah berlakunya adat sebagai hukum. Seandainya syarat ini tidak berlaku maka akan kacau jadinya.

    b)      Adat haruslah sesuatu yang bersifat konstan (iththirad) dan menyeluruh, atau mimimal dilakukan kalangan mayoritas (ghalib).[17]Seandainyapun  kita menemukan ada yang tidak mengerjakan, maka hanya sebagian kecil saja.

    c)      Adat sudah terbentuk bersamaan dengan masa penggunaannya.[18]Misalnya seseorang mengwakafkan tanah nya kepada ulama, sementara yang dimaksud dengan ulama pada saat proses pengwakafan itu terjadi adalah orang-orang yang ahli dalam bidang fiqh, maka harta wakaf tersebut harus diserahkan kepada ahli fiqh meskipun pada masa-masa selanjutnya istilah ulama ini penggunaannya tidak semata-mata terhadap ahli fiqh.

    d)     Tidak terdapat ucapan atau pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai substansial adat ( madlumun al -‘adat).[19]Misalnya disuatu tempat berlaku adat kalau pelemparan alat tukar (tsaman) dijadikan sebagai bukti pembayaran tanpa melalui media ucapan. Nah, selama ini telah dilakukan oleh pembeli dan penjual maka jual beli itu dianggap sah. Lain halnya kalau pembeli mengatakan bahwa pelemparannya itu hanya sekedar iseng untuk menggoda si penjual, maka pelemparan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai tanda jadi dalam sebuah transaksi.
    3.      Bentuk- bentuk  adat
    Pembagian  adat dapat ditinjau dari beberapa aspek. Diantaranya:
    a)      Dari aspek pekerjaan adat terbagi dua, yaitu
    Ø  ‘Urf qawli yaitu suatu jenis kata, ungkapan atau istilah tertentu yang diberlakukan oleh satu komunitas untuk menunjuki suatu makna kusus.
    Ø  ‘Urf  fi’li / amali adalah suatu jenis pekerjaan atau aktifitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma susila.[20]
    b)      Dari aspek jumlah pelakunya (kuanitas) adat terbagi dua, yaitu:
    Ø  ‘Urf  ‘am yaitu suatu pekerjaan yang sudah berlaku menyeluruh dan tidak mengenal batas waktu, pergantian generasi atau letak geografis.
    Ø  ‘Urf khas yaitu suatu jenis kebiasaan yang berlaku di kawasan atau golongan tertentu, dan tidak tampak pada komunitas lainnya.[21]
    c)     Dari tinjauan secara umum adat terbagi dua, yaitu:
    Ø Adat shahih yaitu segala tradisi yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil serta hukum syar’i.
    Ø ‘Adat fasid yaitu tradisi yang bertentangan dengan dalil dan hukum syar’i.[22]
    D.   CAKUPAN KAIDAH
                Selama ini kita sering mendengar atau malah berpendapat bawa kaidah  al-‘adat muhakkamah hanya berlaku dalam masalah penentuan awal serta lamanya haid seorang perempuan. Tapi setelah melakukan penelusuran terhadap beberapa sumber yang sangat dapat dipercaya, harus kita akui bahwa sangat banyak sekali persoalan-persoalan hukum yang mencakup dalam kaidah al-‘adat muhakkamah ini. Dan di bawah ini kami mencoba mengurai beberapa adat yang masuk dalam ranah kaidah ini. Diantaranya:
    1)      Kadar pergerakan dalam shalat. Ukuran pergerakan yang di anggap banyak atau sedikit dikembalikan kepada adat dan kebiasaan baik yang bersifat pribadi atau kolektif. Namun menurut ulama tiga kali bergerak itu sudah dianggap banyak pada adat dan membatalkan shalat karena dapat merubah runtutan shalat itu sendiri.
    2)      Kadar minimal najis yang dimaafkan.
    3)      Ukuran sebentar dan lamanya kesinambungan antara rukun-rukun wudlu’, atau tenggang waktu pembelian dan pemulangan barang yang memiliki cacat.
    4)      Penguasaan atas hak milik orang lain (istila’) dalam masalah ghasab.
    5)      Dalam masalah batasan penerimaan barang dalam mu’amalah.
    6)      Mengetahui batasan tempat penyimpanan barang yang layak (hirz al-mitsl)
    7)      Menyungguhkan makanan di hadapan tamu.[23]
    8)      DLL
    E.   SUB- SUB KAIDAH
     Sebenarnya sangat banya kaidah-kaidah furu’ yang menjadi sub kaidah asas al-‘adat muhakkamah ini. Namun karena keterbatasan ilmu juga waktu, kami hanya menyebutkan satu sub kaidah saja, sekaligus sub kaidah ini menjadi batasan (istisna) bagi kaidah asal. Diantara sub kaidah tersebut adalah:

    1.      Sub Kaidah Pertama.
      كل ما ورد به الشرع مطاقا ولا ضابط له فيه ولا اللغة يرجع فيه الى العرف
    Artinya: Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara’ secara mutlak dan tidak ada pembatasannya dalam syara’ dan dalam ketentuan bahasa, dikembalikan kepada ‘urf.[24] 
           Banyak ulama figh mengartikan ‘uruf sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreativ-imajenativ manusia dalam membangun nilai-nilai budaya

                                                                           
    2.      Sub Kaidah Kedua.

     العادة المطردة فى ناحية لا تنزل منزلة الشرط  
    Artinya: Adat kebiasaan yang diterapkan dalam satu segi tidak dapat menduduki tempat syarat.               
    Contohnya: Kebiasaan memanfaatkan yang digadaikan (marhum).Menurut al-Qafal, jika kebiasaan ini diposisikan sebagai syarat,maka akat gadai tidak sah. Pada awalnya,dalam prosesi penggadaian,penerima gadai tidak diperbolehkanmemanfaatkan marhum.sebab marhum hanyalah barang jaminan atas hutang yang ditanggung pihak penggadai,Tapi jika kebiasaan ini tidak diposisikan sebagai syarat,maka menurut mayoritas ulama,akad tetap dihukumi sah.             

    F.PENGECUALIAN  KAIDAH                
                Dengan pemilahan yang sistematis,Muhammad Shidqi Al-burnu mengajukan beberapa perincian untuk mengadopsi tradisi-tradisi yang bertentangan dengan nash syariat.
            Pertama, bila adat fasid bertentangan dengan nash,sehingga andaikata diadopsi maka akan membuat ketentuan nash menjadi terbuang,maka adat fasid harus dikesampingkan. Budaya sex bebas di barat, misalnya, jelas tidak dapat ditoleransi  syariat.sebab, selain merendahkan martabat manusia menjadi semi-hewani, kebebasan sexual juga  akan mengaburkan garis keturunan (nasab), menistakan harga diri pelaku, serta akan bertentangan dengan dalil-dalil nash yang lain (selain dalil yang mengharamkan zina). Jadi untuk menghalalkan perilaku  free-sex tersebut teramat jauhdari garis ditarik dan benang di rentang.
            Kedua, lahirnya ketentuan nash yang berbenturan dengan adat pada saat itu, namun pada era selanjutnya , tradisi tersebut telah berubah dan berlawanan dengan pesan esensial nash,dalam tataran ini,sebagian ulama mazhab memberi peluang untuk merangkul adat istiadat dan meninggalkan tex syar’i. Alasan mereka,eliminasi atau penganuliran itu bukan dalam katagori penentang (mushadamah).  Contohnya hadist nabi, yang menerangkan bahwa garam, gandum merah, gandum putih dan kurma,adalah jenis bahan komsumsi yang harus di takar(al-makil) dalam prosesi transaksi. Ketentuan ini sesuai dengan adat orang madinah,namun di ketika selanjutnya madinah tidak memakai takaran lagi,maka tradisi baru itulah yang menjadi pijakan[25].
    BAB III
           PENUTUP
    A.    KESIMPULAN
    Dari apa yang telah dikemukakan sebelum ini, dapat kita simpulkan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin selalu memberikan solusi bagi pemeluknya dalam mengarungi hidup didunia ini. Disamping itu Allah sebagai shahib syari’ah tidak memberlakukan hukum islam  sesuai dengan teks syar’i saja, tapi juga lewat tradisi yang  telah berakar dalam tubuh manusia yang dikatagorikan `adat`,  tentu saja dengan beberapa ketentuan yang berlaku.

    B.    KRITIK DAN SARAN
    Mengigat dan menimbang bahwa kami adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari berbagai kesilapan dan kekerungan. Maka disini kami mengharapkan banyak maaf kepada teman-teman dan kepada dosen pembimbing atas segala kekurangan dalam penyelesaian makalah ini. Dan kami juga mengharapkan banyak kritikan dan saran yang bersifat membangun tentunya  dari Dosen dan  teman-teman semua agar kedepan kami dapat menjadi lebih baik.



    [1] Mahmud  Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, tt), hal. 284.
    [2] Ibid, hal. 106.
    [3] Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh, jld I, (Surabaya: Kaki Lima dan Khalista, 2006), cet.  II, hal. 274.
    [4] Ibid, hal. 274.
    [5] Ibid, hal. 269.
    [6] Ibid, hal. 269.
    [7] Ibid, hal. 270.
    [8] Ibid, hal. 270.
    [9] Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Sayuti, al-Asybah wa an-Nazhair fi al-Furu’, (Singapura, Jeddah, Indonesia: al-Haromain, tt), hal. 63.
    [10] Abdul Haq dkk, Formulasi…,hal. 276.
    [11] Mahmud  Yunus, Kamus …,hal. 263.
    [12] Abdullah Ibn Sulaiman al-Jarhazi, al-Mawahib as-Saniyyah, (Singapura, Jeddah, Indonesia: al-Haromain, tt), hal. 123.
    [13] Ibid, hal. 124.
    [14] Ibid, hal. 124.
    [15] Ibid, hal. 126.
    [16] Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar ...,hal. 283.
    [17] Ibid, hal. 284.
    [18] Ibid, hal. 284.
    [19] Ibid, hal. 285.
    [20] Ibid, hal. 289.
    [21] Ibid, hal. 291.
    [22] Ibid, hal. 293.
    [23] Ibid, hal. 276.
    [24] Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchur Rahman,  Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT Alma’arif, 1986), cet. 5, hal. 518.
    [25]. Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar ...,hal. 304.


    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Qaedah Usul Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top