Oleh: Tgk. Mahfud Muhammad
Selama ini, dayah identik sebagai
sebuah lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan kitab-kitab klasik yang
berasal dari tuimur tengah. Tujuan belajar didayah tidak muluk-muluk, hanya
ingin memahami dan mengamalkan hukum isalam berdasarkan aqidah ahlussunnah wal
jama’ah. Tentunya, ini adalah tujuan
minimal. Adapun tujuan maksimalnya (the great mission) adalah menjadi ulama
sebagai pewaris para nabi yang mampu menjadi panutan dan petunjuk bagi ummat
islam.
Untuk merealisasikan tujuan
tersebut, dayah menjadikan beberapa kitab utama sebagi pedoman. Secara
umum, pelajaran yang diajarkan didayah
terdiri dari beberapa cabang ilmu, yakni fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits,
nahwu, saraf, musthalah, hadits, ushul fiqh, mantiq, balaghah dan tariqh.
Oleh karena seemua materi
pelajaran bersumber dari kitab-kitab arab, maka pembelajaran bahasa arab dalam
dunia dayah adalah suatu kewajiban yang telah dimulai sejak pertama kali
menginjakkan kakinya didayah sampai waktu yang tidak terbatas. Para santri di
wajibkan menghafal dan memahami kitab-kitab tentang kawa’id. Seperti awamil,
jarumiah, mutammimah,alfiah, ibnu akil, dan lain-lain. Oleh sebab itu,
pembelajaran bahasa rab telah begitu membumi dalm dunia dayah. Apakah ini sudah
sempurna?
Dalam teori pembelajaran bahasa, ada empat aspek
yang menjadi kegiatan inti, yaitu; percakapan(muhadatsah/speaking), mendengar
(istima’/listening), membaca (qiraah/reading), menulis (kitabah/writing).
Metode pembelajaran bahasa arab
yang diterapkan di Dayah hanya berfokus pada membaca, dan mendengar. Sangat
jarang menyentuh ranah menulis dan
berbicara. Para santri hanya membaca dan mendengar saja teks-teks arab yang
menjadi bahan kajian mereka, tanpa menulis dan berkomunikasi dengan bahasa arab
itu sendiri. Apa implikasi dari hal ini ?
Disatu sisi, dayah memiliki
keunggulan dalam melahirkan kader ulama yang mampu membaca dan memahami ‘’kitab
gundul’’ secara mendalam, kemudian menafsirnya kepada murid dan masyarakat. Hal
ini dapat difahami, karena dayah memfokuskan metode pembe
lajaran bahasa dari aspek
qawa’id (grammar). Namun disisi lain, banyak santri dayah yang kurang mahir
menulis tulisan arab dan berbicara dalam bahasa arab. Hal ini adalah salah satu
implikasi dari ‘’keringnya’’ proses pembelajaran bahasa dari kitabah dan
muhadatsah.
Akibat lain dari ‘’kekeringan’’
ini adalah orientasi menuntut ilmu di dayah tidak mencapai taraf melahirkan
kitab-kitab ilmiah. Hal ini berbeda dengan ulama-ulama klasik. Setelah mnuntut
ilmu sekian lama, mereka menuangkan hasil pemikirannya dalam lembaran-lembaran
kertas yang ditulis dalam bahasa Arab, sebagai salah satu amal jariyah yang
tidak terputus pahalanya.
Modal utama mereka adalah ilmu
dan keikhlasan. Karena keikhlasanlah, kitab-kitab mereka bertahan sampai
berabad-abad lamanya. Mereka menulis bukan sebagai media.
0 komentar:
Post a Comment