Bahagia itu Berbeda
Oleh: Rizal Ibnuza
Sabiluna-Banyak diantara kita saling menilai seseorang dari penampilannya, apakah dia orang yang sukses, Uang banyak, rumah mewah serta hidup penuh dengan hura-hura.
Banyak orang memandang bahwa kehidupan di kampung adalah kehidupan para petani. Tentu saja petani identik dengan kemiskinan. Tapi, pernahkah kita merenung betapa damai dan bersahaja kehidupan petani di kampung?
Mari melihat filosofi menarik kehidupan petani. Petani adalah sosok sederhana dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang dimiliki dalam kapasitasnya. Petani saban hari bekerja di sawah ladang banting tulang demi menghidupi keluarganya. Lantas apa istimewanya?
Tak terlalu istimewa sebenarnya. Namun demikian, mereka memiliki waktu yang cukup untuk dihabiskan bersama keluarga mereka. Membantu istri membesarkan anak-anak yang Allah titipkan pada mereka. Mereka bisa bercengkrama, saling membantu dan tidak arogan dengan sanak keluarga dan tetangga di waktu luang. Pada akhirnya kebahagiaan di balik kesederhanaanlah yang mereka nikmati.
Sejenak mari beranjak pada kehidupan kota yang penuh ketidakpastian. Orang kota bekerja lebih lama. Tentu saja hal tersebut menjadikan mereka lebih sering berinteraksi dengan dunia luar ketimbang keluarga. Demi rupiah apa boleh dikata anak dan istrilah yang menjadi korbannya.Banyak orang memandang bahwa kehidupan di kampung adalah kehidupan para petani. Tentu saja petani identik dengan kemiskinan. Tapi, pernahkah kita merenung betapa damai dan bersahaja kehidupan petani di kampung?
Mari melihat filosofi menarik kehidupan petani. Petani adalah sosok sederhana dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang dimiliki dalam kapasitasnya. Petani saban hari bekerja di sawah ladang banting tulang demi menghidupi keluarganya. Lantas apa istimewanya?
Tak terlalu istimewa sebenarnya. Namun demikian, mereka memiliki waktu yang cukup untuk dihabiskan bersama keluarga mereka. Membantu istri membesarkan anak-anak yang Allah titipkan pada mereka. Mereka bisa bercengkrama, saling membantu dan tidak arogan dengan sanak keluarga dan tetangga di waktu luang. Pada akhirnya kebahagiaan di balik kesederhanaanlah yang mereka nikmati.
Kerja yang lebih banyak akan dihargai dengan rupiah yang lebih banyak pula. Itulah filosofi hidup orang kota. Menurut mereka kehidupan yang mapan alias banyak fulus akan menjadikan hidup lebih bahagia. Benarkah demikian?
Coba simak kisah berikut: Suatu hari, seorang pengusaha, sebut saja namanya Andre, jatuh sakit. Untuk memulihkan kesehatan sengaja ia mengambil cuti dan berlibur ke puncak. Di sana ia bertemu Kang Asep, seorang petani teh. Setelah saling kenal dan mengobrol panjang-lebar, Andre jadi tidak habis pikir mengapa Asep bekerja satu-dua jam saja dan sisanya ia habiskan buat berleha-leha.
“Seharusnya Kang Asep bekerja lebih keras-seperti saya,” ujar Andre, tidak lepas lagak arogannya.
“Hmm, buat apa mas?” Kang Asep balik bertanya.
“Dengan begitu Kang Asep akan menghasilkan daun teh lebih banyak-seperti saya.”
“Terus?” ujar Kang Asep
“Kang Asep akan mendapatkan uang lebih banyak-seperti saya.” sahut Andre
“Terus?”ujar Kang Asep
“Kang Asep akan memiliki kebebasan finansial-seperti saya.”sahut Andre
“Terus?”ujar Kang Asep
“Kang Asep akan memiliki kebebasan waktu-seperti saya.”sahut Andre
“Terus?”ujar Kang Asep
“Kang Asep bisa berlibur dan berleha-leha sepanjang hari-seperti saya.”sahut Andre
“Hm, begitu ya?” ujar Kang Asep
“Iya.”sahut Andre
“Lha,,, yang saya lakukan sekarang, apa namanya, Mas?”ujar Kang Asep
Disahut begitu, Andre langsung terdiam kehabisan kata-kata. *)
Sampai di sini kita mafhum bahwa, ukuran kebahagiaan bagi setiap orang berbeda-beda. Tak peduli dia itu pengusaha kelas kakap ataupun petani kelas ndeso sekalipun. Anyway, kebahagiaan adalah milik semua orang.
Lebih khusus lagi bagi mereka yang senantiasa bersyukur atas semua limpahan nikmat dan karunia Allah swt. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan,”sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 07) Firman-Nya: *)
Diceritakan ulang dari buku Ippho Santosa, Marketing is Bullshit. Selebihnya tulisan orisinil penulis.
0 komentar:
Post a Comment